Tongkonan
  
   Tiga tongkonan di desa Toraja.
  Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas  tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan  kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja 
tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang  berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual  suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut  serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur  mereka.
[15]  Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga  dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru  rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya  dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan.  Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan  sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota  keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam 
adat  dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan  batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang  seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan  di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa  pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu
  
  Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
  Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.
[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya 
Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap 
ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah 
hewan dan 
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti 
gulma air dan hewan seperti 
kepiting dan 
kecebong  yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran  kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah  melambangkan 
kerbau  atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak  kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar  semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti  barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas  dan kanan atas melambangkan 
hewan air,  menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti  hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya  kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu  Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga  abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen  Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.
[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam 
ethnomatematika  dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja  membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.
[21] Suku Toraja menggunakan 
bambu untuk membuat oranamen geometris.
 
 | Beberapa motif ukiran Toraja | 
 |  |  |      pa're'po' sanguba(menari)
 |      ne'limbongan(perancang legendaris)
 | 
 
Upacara pemakaman
  
  Tempat penguburan Toraja yang diukir.  Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang  paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,  maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk,  hanya keluarga 
bangsawan  yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman  seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung  selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut 
rante  biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai  tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan  berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang  ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan  ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja  tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin,  dan orang kelas rendah.
[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah  berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian  yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat  mengumpulkan cukup 
uang untuk menutupi biaya pemakaman.
[24]  Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan  tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju 
Puya (dunia arwah, atau 
akhirat). Dalam masa penungguan itu, 
jenazah  dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan.  Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara  pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke 
Puya.
[25]
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan 
kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan 
golok.  Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu  pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa  arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih  cepat sampai di 
Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan 
babi  merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para  pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian  daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu  akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di 
tebing.  Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut  biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di  beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh  anggota keluarga. Patung kayu yang disebut 
tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.
[27]  Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.  Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan  membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam  upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan  untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang  arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama,  sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam  untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut 
Ma'badong).
[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.
[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit 
Ma'randing  ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa  orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit  kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian 
Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju 
rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian 
Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian 
Ma'akatia  bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan  almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki  dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut  
Ma'dondan.
  
  Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
  Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama 
musim panen. Tarian 
Ma'bugi dilakukan untuk merayakan 
Hari Pengucapan Syukur dan tarian 
Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk 
beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian 
Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian 
Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut 
Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. 
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah 
suling bambu yang disebut 
Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian 
Ma'bondensan,  ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan  tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat  musik lainnya, misalnya 
Pa'pelle yang dibuat dari 
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.